Kamis, 09 Januari 2014

Inferioritas Perempuan


Sejak saat dini, anak-anak membayangkan berjodoh dengan pasangan sempurna dari jenis berlainan. Anak perempuan belajar memandang pada pacarnya. Dia juga belajar melihat dirinya bersandar di pundak kekasihnya. Lain daripada itu, ia membayangkan kekasih yang menciumnya dan berbisik di telinganya. Si perempuan juga belajar untuk jadi penakut sehingga sang kekasih dapat melindunginya, belajar menangis hingga habis air matanya. Anak-anak perempuan mengenakan pakaian pria yang kedodoran hingga tampak makin kecil. Pemusatan hasrat  atau cathexis ini adalah kekuatan luar biasa yang melanggenggkan orde gender. Hal ini tidak Cuma mengatur ketertarikan seseorang terhadap lawan jenis, tetapi juga mencetak orang tersebut agar menjadi menarik bagi lawan jenis. Anak perempuan mendamba jadi kecil dan lembut, sedangkan anak laki-laki menjadi besar dan kuat. Semua hal ini adalah contoh dominasi pencitraan diri yang didukung oleh masyarakat. Pencitraan kadang tidak sejalan dengan perkembangan olahraga oleh perempuan yang memerlukan kekuatan, tinggi dan bobot tubuh. Seorang atlet perempuan muda bahkan dibentuk agar menjadi menarik bagi laki-laki dan diiklankan melalui pelbagai publikasi seperti pada “Sport Illustrated for Woman.” Diet, tata rambut, cukur rambut (kaki dan kepala), obat penghilang nafsu makan, steroid, tato, tindik, rias wajah, semuanya demi memenuhi diri yang didambakan. Sikap konsumtif pada segala hal dikontrol oleh hasrat. Dan hebatnya, hasrat pun telah tergenderkan. Pakaian, riasan, kendaraan, rumah, perabot, kebun, makanan, rekreasi adalah perwujudan diri yang disetir oleh hasrat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar